Novel karya Kang Abik, selalu menjadi best seller
bagi para pembaca. Dan banyak novel-novel karya beliau yang digarap serius
menjadi sebuah film termasuk “Cinta Suci Zahrana” .
Al kisah, seorang gadis yang sudah mapan secara
karier sebagai dosen berprestasi di sebuah universitas serta mendapatkan
penghargaan baik dalam maupun luar negeri. Namun hal itu bukanlah sesuatu yang
membanggakan, bukan kebanggaan khas “orang desa” seperti kedua orang tua
Zahrana.
Lingkungan
tempat tinggal Zahrana adalah sebuah daerah yang bisa dikatakan tidak semuanya
berpikiran sama. Bagi sebagian orang adalah aib bila ada gadis yang sudah
berumur 30 tahun lebih tapi belum menikah. Hhhhh.... apalagi bila daerah yang
kolot, bila sudah umur 7 tahun atau lulus SMA pilihannya hanya ada 2 yaitu
bekerja atau menikah. Umur 20 tahun keatas sudah mulai banyak pertanyaan, “Kapan nikah..kapan nikah”. Lewat umur 25
tahun seperti lampu kuning lalu lintas... ayo ayo cari jodoh. Lewat umur 30
tahun, orang tua mulai mengurut dada
sambil menjawab pertanyaan para tetangga. Anaknya kok belum nikah, hati-hati lo
nanti perawan tua.
Rana,
demikian panggilan untuk gadis semata wayang pak Munadjat yang sukses. Ketika
lulus dari dengan predikat terbaik dari UGM dan langsung mendapat tawaran
sebagai dosen, Rana ternyata mendapat pilihan untuk mengajar di dekat lingkungan tempat
tinggalnya yaitu di Universitas Mangun Karsa agar ia juga tak jauh dari orang
tuanya. Menjadi dosen dengan modal S1, membuatnya bertekad untuk menyelesaikan
S2.
Jodoh.
Orang tuanya sudah ingin menjodohkannya dengan laki-laki pilihan mereka, tapi
apa daya ada hal lain yang membuat itu belum terlaksana. Bahkan sahabatnya Lina
pernah menjodohkannya dengan Mas Andi kenalannya, tapi namanya belum jodoh
malah Lina sendiri yang menikah dengan Mas Andi, karena Rana merasa belum sreg
dan masih disibukkan dengan kuliahnya serta kariernya.
Lika-liku
perjalanan seorang gadis yang disisi lain gemilang dalam karier, di satu sisi
ada tuntutan dari orang tua untuk segera menemukan jodohnya. Mulai dari dilamar
dekan nya yang seorang playboy yang “nakal”
yang dibalas dengan penolakan lewat email yang berujung pada pengunduran
dirinya dari universitas tersebut, kemudian penolakan terhadap seorang kepala
keamanan yang tidak bisa membaca Al Qur’an, belum lagi penolakan terhadap wali
mantan murid lesnya.
Sejatinya
gadis mana yang tidak sedih karena belum menemukan tambatan hatinya. Sedih.
Apalagi melihat kenyataan bahwa sang ayah menderita penyakit jantung yang serius.
Belum lagi bisikan tetangga, ejekan dekan nya yang ditolak dengan lantang
menyebutnya “perawan tua”. Duh gusti tidak muluk-muluk, kriteria jodohnya. Yang
bisa menjadi imam dalam rumah tangga. Lulusan apa dan pekerjaan apa tidak
masalah baginya. Tapi bila jodoh belum datang, hanya ikhtiar, berdo’a dan
berusahalah yang bisa dilakukan.
Mundur
dari universitas Mangunkarsa, kemudian membuka les bimbel dan akhirnya diterima
di sebuah STM Al Fattah di lingkungan pondok pesantren Al Fattah dengan harapan
disana dia bisa menemukan jodohnya. Berkat bantuan sahabatnya Lina, mereka
menemui bu Nyai untuk dicarikan jodoh terbaik. Akhirnya jodoh itu datang,
seorang pemuda lulusan MAN pilihan bu Nyai, yang berprofesi sebagai penjual
krupuk. Tanpa banyak pertanyaan jodoh itu diterimanya dengan lapang dada,
berlangsunglah lamaran dan persiapan pernikahan. Kebahagiaan menyelimuti
keluarga pak Munadjat karena pernikahan yang akan diselenggarakan keesokan
harinya.
Jodoh
tak dapat diundang , malang tak dapat ditolak. Tepat malam hari sebelum pernikahan,
kabar buruk itu datang. Calon penganten laki-laki meninggal tertabrak kereta
api. Jodoh, rezeki, hidup dan mati sudah menjadi suratan Ilahi. Pada hari yang
sama, pak Munadjat juga menghembuskan nafas terakhirnya. Sedih. Pilu. Shock. Bercampur
aduk menjadi satu, penantiannya selama ini untuk membahagiakan kedua orang
tuanya belum terlaksana. Butuh waktu yang lama untuk menetralisir kesedihan
yang mendalam bagi Zahrana. Setidaknya ia membuktikan bahwa ia sudah berusaha
semaksimal mungkin. Bahkan usahanya sudah tinggal beberapa saat hanya terhalang
oleh maut menghampiri sang calon mempelai laki-laki.
Ketika
terkapar tak berdaya dirumah sakit, dengan kesedihan yang mendalam, ibunya
terus memberikan support begitu juga sahabatnya dan dokter dokter dirumah sakit
yang salah satunya adalah bu Zulaikha yang ternyata adalah ibu Hasan, mahasiswa
yang sempat dibawah bimbingannya dalam penyusunan skripsi.
Lambat
laun, senyum itu semakin berkembang dan mulai membangkitkan semangat Zahrana.
Walaupun ia terpuruk, hancur lebur tapi ia sadar bahwa semua itu harus di
delete sampai bersih. Dan yang tertinggal hanya bekas-bekasnya tapi siap untuk
ditulis dengan hal-hal yang lebih baik lagi. Dengan semangatnya yang baru,
senyum yang cerah ia bersiap menyongsong masa depan.
Janganlah berputus asa!!
Alhamdulillah
tak disangka-sangka, kedatangan bu dokter bu Zulaikha ke rumahnya adalah melamarnya
untuk Hasan. Kaget. Bersyukur. Khawatir. Kejadian yang telah lalu masih
membayanginya. Maka untuk menegaskan keseriusan Hasan dan ketakutannya akan
pengulangan kejadian masa lalu yang tidak diinginkannya, Zahrana langsung
meminta keseriusan lamaran itu berupa akad nikah hari itu juga selepas isya.
Dan........
Alhamdulillah....Jodoh, rezeki, hidup dan mati......
Allah yang mengatur. Tugas kita adalah ikhtiar dan berdo’a serta tawakkal atas
ketentuanya.