Cari Blog Ini

Kamis, 16 Oktober 2025

 Guru yang Dilaporkan: Ketika Niat Mendidik Berbalik Jadi Jerat Hukum

Oleh: Lumiati

 

Media sosial pada hari ini sedang hangat oleh berita guru yang dilaporkan ke polisi karena menampar muridnya. Tak mengherankan karena memang beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan kita berkali-kali diguncang oleh kabar serupa: seorang guru dilaporkan ke polisi karena menegur atau menindak siswanya secara tegas. Ada yang menampar karena emosi, ada pula yang menegur keras karena ingin mendisiplinkan. Niatnya sederhana ingin membentuk karakter anak agar lebih sopan dan bertanggung jawab. Namun di era sekarang, niat baik itu bisa berubah menjadi bumerang.

Sekali video tersebar di media sosial, satu potong gambar tanpa konteks cukup untuk mengubah sosok guru menjadi “tersangka kekerasan anak”. Orang tua langsung marah, media berbondong-bondong memberitakan, dan masyarakat pun menghakimi. Di tengah derasnya arus emosi publik, suara penjelasan sering kali tenggelam.

Fenomena ini menimbulkan satu pertanyaan besar: apakah profesi guru kini sedang kehilangan perlindungan sosialnya?

 

Guru Dulu dan Sekarang

Bagi generasi yang tumbuh di era 1970–1990-an, guru adalah sosok yang nyaris sakral. Tamparan atau cubitan kecil dari guru dulu tak pernah dianggap penghinaan. Justru itu menjadi pelajaran moral agar kita tahu batas. Kalimat “guru adalah orang tua di sekolah” bukan sekadar ungkapan, tapi benar-benar dihayati.

Namun, dunia telah berubah. Pola asuh modern, kesadaran hak anak, serta perkembangan media sosial mengubah segalanya. Apa yang dulu dianggap “teguran mendidik” kini masuk kategori kekerasan. Orang tua yang dulu menyerahkan urusan pendidikan anak ke sekolah, kini ikut menjadi pengamat dan hakim.

Tentu saja, perubahan ini tidak salah. Pendidikan seharusnya bebas dari kekerasan. Anak-anak memang berhak mendapatkan perlakuan yang aman dan penuh kasih. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika batas antara “mendidik dengan tegas” dan “melakukan kekerasan” menjadi sangat kabur.

Banyak guru akhirnya merasa serba salah: bila dibiarkan, siswa tidak disiplin. Bila ditegur, bisa dilaporkan. Bagi sebagian guru, ruang mendidik kini terasa semakin sempit.

 

Dampak Sosial: Guru di Bawah Bayang-Bayang Takut

Maraknya laporan hukum terhadap guru membawa dampak sosial yang tidak kecil. Rasa takut menegur membuat wibawa guru perlahan pudar di depan siswa. Beberapa guru bahkan memilih “diam” ketika melihat murid melanggar aturan, karena tidak ingin berurusan dengan hukum.

Padahal, di ruang kelas yang ideal, guru bukan hanya penyampai materi, tapi juga pembentuk karakter. Ia mendidik dengan ketulusan, menegur dengan kasih, dan menanamkan nilai-nilai yang kadang tidak bisa disampaikan lewat kata-kata. Tapi kini, kehangatan itu perlahan tergantikan oleh kekhawatiran.

Bagi banyak guru, ancaman laporan orang tua terasa seperti pedang bermata dua. Ia bukan hanya menggerus rasa percaya diri, tapi juga mengikis makna luhur profesi itu sendiri. Ketika guru takut mendidik, maka pendidikan kehilangan ruhnya.

Lebih jauh, muncul fenomena sosial baru: siswa yang berani menantang guru dengan kalimat, “Awas nanti saya lapor.” Situasi ini tentu mengkhawatirkan. Anak yang seharusnya belajar menghormati justru tumbuh dalam pola pikir reaktif, bukan reflektif.

 

Hukum dan Keadilan yang Perlu Keseimbangan

Dari sisi hukum, tindakan fisik terhadap anak memang tidak dapat dibenarkan. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan tegas melarang segala bentuk kekerasan, bahkan dengan dalih mendidik. Pasal 80 ayat (1) mengatur ancaman pidana hingga tiga tahun enam bulan bagi pelaku kekerasan terhadap anak.

Namun, hukum juga seharusnya tidak berdiri kaku tanpa mempertimbangkan konteks pendidikan. Sebab, tidak semua tindakan guru lahir dari niat jahat. Sebagian justru lahir dari tanggung jawab moral untuk menjaga perilaku anak didiknya.

Dalam waktu yang sama, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebenarnya menjamin perlindungan hukum bagi guru. Sayangnya, perlindungan itu kerap hanya tertulis di atas kertas. Banyak guru tidak tahu bagaimana mengaksesnya. Ketika kasus terjadi, mereka lebih dulu disalahkan sebelum sempat menjelaskan.

Artinya, keadilan harus berjalan dua arah. Anak harus dilindungi dari kekerasan, tetapi guru pun harus dilindungi dari kriminalisasi yang berlebihan. Tanpa keseimbangan ini, pendidikan hanya akan melahirkan ketakutan, bukan keteladanan.

 

Peran Orang Tua dan Media Sosial

Kasus guru yang dilaporkan kerap bermula dari satu hal: kurangnya komunikasi antara sekolah dan orang tua. Banyak orang tua yang langsung marah tanpa menanyakan duduk perkara. Ketika emosi menguasai, laporan polisi menjadi pilihan pertama, bukan dialog.

Padahal, sekolah dan rumah seharusnya menjadi dua tangan yang bekerja sama. Anak belajar disiplin di sekolah, dan nilai-nilai itu dikuatkan di rumah. Bila hubungan ini rusak, pendidikan kehilangan harmoni.

Di era media sosial, persoalan makin rumit. Video potongan detik-detik insiden bisa viral dalam hitungan jam, tanpa konteks dan klarifikasi. Opini publik terbentuk lebih cepat daripada proses keadilan. Di sinilah tantangan terbesar pendidikan kita: bagaimana menjaga kehormatan guru di tengah masyarakat yang gemar menghakimi berdasarkan potongan video, bukan penjelasan utuh.

 

Dalam Pandangan Islam: Guru Adalah Cahaya

Dalam ajaran Islam, guru memiliki kedudukan yang sangat mulia. Guru adalah pewaris para nabi. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud)

Menghina, merendahkan, atau mempermalukan guru tanpa alasan yang benar sama saja dengan memadamkan cahaya ilmu itu sendiri. Sebab ilmu tidak akan masuk ke hati yang keras dan sombong terhadap pemberinya.

Al-Qur’an juga menegaskan:

“Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Az-Zumar [39]: 9)

Ayat ini bukan hanya mengangkat derajat orang berilmu, tapi juga mengingatkan kita untuk menghormati mereka. Imam Syafi’i pernah berkata,

“Barang siapa tidak memuliakan guru dan tidak menjaga kehormatannya, maka keberkahan ilmu akan dicabut darinya.”

Artinya, menghormati guru bukan soal sopan santun semata, tetapi bagian dari ibadah. Ketika masyarakat kehilangan rasa hormat terhadap guru, maka sebenarnya yang hilang adalah keberkahan ilmu di tengah-tengah kita.

 

Mencari Jalan Tengah: Tegas Tanpa Kekerasan, Lembut Tanpa Takut

Pendidikan tidak bisa hanya berpihak pada satu sisi. Guru perlu belajar untuk mengendalikan emosi dan menggunakan metode non-kekerasan, seperti pendekatan psikologis, sistem poin, atau pembinaan karakter. Tapi di sisi lain, masyarakat juga harus memberi ruang bagi guru untuk bersikap tegas tanpa khawatir dikriminalisasi.

Sekolah seharusnya memiliki mekanisme penyelesaian internal yang jelas sebelum kasus dilaporkan ke aparat hukum. Dengan demikian, semua pihak dapat menilai secara objektif apakah tindakan guru masih dalam koridor mendidik atau sudah melampaui batas.

Pemerintah juga perlu memperkuat pelatihan profesionalitas dan perlindungan hukum bagi guru. Guru tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian di tengah perubahan sosial yang begitu cepat. Mereka membutuhkan dukungan moral dan kebijakan yang berpihak.

 

Menjaga Martabat Guru, Menjaga Masa Depan Bangsa

Guru adalah cermin peradaban. Ketika guru takut mendidik, ketika guru lebih sibuk menjaga diri daripada membentuk karakter murid, maka bangsa ini sedang kehilangan arah.Kita boleh memperjuangkan hak anak, tetapi jangan lupa, guru juga manusia yang berjuang dengan keterbatasan. Mereka tidak hanya mengajar huruf dan angka, tetapi juga menanamkan nilai, menuntun akhlak, dan memelihara harapan.

Sudah saatnya masyarakat berhenti mudah melapor, dan mulai kembali berdialog. Karena pendidikan yang sejati tidak bisa tumbuh dari rasa curiga, melainkan dari kepercayaan dan kebersamaan.

 

“Guru bukanlah manusia sempurna, tapi tanpa guru, tak ada manusia yang mengerti arti kesempurnaan.”
Dan selama kita masih menghormati guru, bangsa ini masih punya harapan.

 

  Guru yang Dilaporkan: Ketika Niat Mendidik Berbalik Jadi Jerat Hukum Oleh: Lumiati   Media sosial pada hari ini sedang hangat oleh b...