Guru yang Dilaporkan: Ketika Niat Mendidik Berbalik Jadi Jerat Hukum
Oleh: Lumiati
Media
sosial pada hari ini sedang hangat oleh berita guru yang dilaporkan ke polisi
karena menampar muridnya. Tak mengherankan karena memang beberapa tahun terakhir,
dunia pendidikan kita berkali-kali diguncang oleh kabar serupa: seorang guru
dilaporkan ke polisi karena menegur atau menindak siswanya secara tegas. Ada
yang menampar karena emosi, ada pula yang menegur keras karena ingin
mendisiplinkan. Niatnya sederhana ingin membentuk karakter anak agar lebih
sopan dan bertanggung jawab. Namun di era sekarang, niat baik itu bisa berubah
menjadi bumerang.
Sekali
video tersebar di media sosial, satu potong gambar tanpa konteks cukup untuk
mengubah sosok guru menjadi “tersangka kekerasan anak”. Orang tua langsung
marah, media berbondong-bondong memberitakan, dan masyarakat pun menghakimi. Di
tengah derasnya arus emosi publik, suara penjelasan sering kali tenggelam.
Fenomena ini menimbulkan satu
pertanyaan besar: apakah profesi guru kini sedang kehilangan perlindungan
sosialnya?
Guru
Dulu dan Sekarang
Bagi
generasi yang tumbuh di era 1970–1990-an, guru adalah sosok yang nyaris sakral.
Tamparan atau cubitan kecil dari guru dulu tak pernah dianggap penghinaan.
Justru itu menjadi pelajaran moral agar kita tahu batas. Kalimat “guru adalah
orang tua di sekolah” bukan sekadar ungkapan, tapi benar-benar dihayati.
Namun,
dunia telah berubah. Pola asuh modern, kesadaran hak anak, serta perkembangan
media sosial mengubah segalanya. Apa yang dulu dianggap “teguran mendidik” kini
masuk kategori kekerasan. Orang tua yang dulu menyerahkan urusan pendidikan
anak ke sekolah, kini ikut menjadi pengamat dan hakim.
Tentu
saja, perubahan ini tidak salah. Pendidikan seharusnya bebas dari kekerasan.
Anak-anak memang berhak mendapatkan perlakuan yang aman dan penuh kasih. Namun,
yang menjadi persoalan adalah ketika batas antara “mendidik dengan tegas” dan
“melakukan kekerasan” menjadi sangat kabur.
Banyak guru akhirnya merasa serba
salah: bila dibiarkan, siswa tidak disiplin. Bila ditegur, bisa dilaporkan.
Bagi sebagian guru, ruang mendidik kini terasa semakin sempit.
Dampak Sosial: Guru di Bawah Bayang-Bayang Takut
Maraknya
laporan hukum terhadap guru membawa dampak sosial yang tidak kecil. Rasa takut
menegur membuat wibawa guru perlahan pudar di depan siswa. Beberapa guru bahkan
memilih “diam” ketika melihat murid melanggar aturan, karena tidak ingin
berurusan dengan hukum.
Padahal,
di ruang kelas yang ideal, guru bukan hanya penyampai materi, tapi juga
pembentuk karakter. Ia mendidik dengan ketulusan, menegur dengan kasih, dan
menanamkan nilai-nilai yang kadang tidak bisa disampaikan lewat kata-kata. Tapi
kini, kehangatan itu perlahan tergantikan oleh kekhawatiran.
Bagi
banyak guru, ancaman laporan orang tua terasa seperti pedang bermata dua. Ia
bukan hanya menggerus rasa percaya diri, tapi juga mengikis makna luhur profesi
itu sendiri. Ketika guru takut mendidik, maka pendidikan kehilangan ruhnya.
Lebih
jauh, muncul fenomena sosial baru: siswa yang berani menantang guru dengan
kalimat, “Awas nanti saya lapor.” Situasi ini tentu mengkhawatirkan. Anak yang
seharusnya belajar menghormati justru tumbuh dalam pola pikir reaktif, bukan
reflektif.
Hukum
dan Keadilan yang Perlu Keseimbangan
Dari
sisi hukum, tindakan fisik terhadap anak memang tidak dapat dibenarkan. Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan tegas melarang segala
bentuk kekerasan, bahkan dengan dalih mendidik. Pasal 80 ayat (1) mengatur
ancaman pidana hingga tiga tahun enam bulan bagi pelaku kekerasan terhadap
anak.
Namun,
hukum juga seharusnya tidak berdiri kaku tanpa mempertimbangkan konteks
pendidikan. Sebab, tidak semua tindakan guru lahir dari niat jahat. Sebagian
justru lahir dari tanggung jawab moral untuk menjaga perilaku anak didiknya.
Dalam
waktu yang sama, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebenarnya
menjamin perlindungan hukum bagi guru. Sayangnya, perlindungan itu kerap hanya
tertulis di atas kertas. Banyak guru tidak tahu bagaimana mengaksesnya. Ketika
kasus terjadi, mereka lebih dulu disalahkan sebelum sempat menjelaskan.
Artinya, keadilan harus berjalan dua
arah. Anak harus dilindungi dari kekerasan, tetapi guru pun harus dilindungi
dari kriminalisasi yang berlebihan. Tanpa keseimbangan ini, pendidikan hanya
akan melahirkan ketakutan, bukan keteladanan.
Peran
Orang Tua dan Media Sosial
Kasus
guru yang dilaporkan kerap bermula dari satu hal: kurangnya komunikasi antara
sekolah dan orang tua. Banyak orang tua yang langsung marah tanpa menanyakan
duduk perkara. Ketika emosi menguasai, laporan polisi menjadi pilihan pertama,
bukan dialog.
Padahal,
sekolah dan rumah seharusnya menjadi dua tangan yang bekerja sama. Anak belajar
disiplin di sekolah, dan nilai-nilai itu dikuatkan di rumah. Bila hubungan ini
rusak, pendidikan kehilangan harmoni.
Di
era media sosial, persoalan makin rumit. Video potongan detik-detik insiden
bisa viral dalam hitungan jam, tanpa konteks dan klarifikasi. Opini publik
terbentuk lebih cepat daripada proses keadilan. Di sinilah tantangan terbesar
pendidikan kita: bagaimana menjaga kehormatan guru di tengah masyarakat yang
gemar menghakimi berdasarkan potongan video, bukan penjelasan utuh.
Dalam
Pandangan Islam: Guru Adalah Cahaya
Dalam
ajaran Islam, guru memiliki kedudukan yang sangat mulia. Guru adalah pewaris
para nabi. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya para ulama adalah
pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud)
Menghina,
merendahkan, atau mempermalukan guru tanpa alasan yang benar sama saja dengan
memadamkan cahaya ilmu itu sendiri. Sebab ilmu tidak akan masuk ke hati yang
keras dan sombong terhadap pemberinya.
Al-Qur’an juga menegaskan:
“Apakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Az-Zumar [39]: 9)
Ayat ini bukan hanya mengangkat
derajat orang berilmu, tapi juga mengingatkan kita untuk menghormati mereka.
Imam Syafi’i pernah berkata,
“Barang siapa tidak memuliakan guru
dan tidak menjaga kehormatannya, maka keberkahan ilmu akan dicabut darinya.”
Artinya, menghormati guru bukan soal
sopan santun semata, tetapi bagian dari ibadah. Ketika masyarakat kehilangan
rasa hormat terhadap guru, maka sebenarnya yang hilang adalah keberkahan ilmu
di tengah-tengah kita.
Mencari
Jalan Tengah: Tegas Tanpa Kekerasan, Lembut Tanpa Takut
Pendidikan
tidak bisa hanya berpihak pada satu sisi. Guru perlu belajar untuk
mengendalikan emosi dan menggunakan metode non-kekerasan, seperti pendekatan
psikologis, sistem poin, atau pembinaan karakter. Tapi di sisi lain, masyarakat
juga harus memberi ruang bagi guru untuk bersikap tegas tanpa khawatir
dikriminalisasi.
Sekolah
seharusnya memiliki mekanisme penyelesaian internal yang jelas sebelum kasus
dilaporkan ke aparat hukum. Dengan demikian, semua pihak dapat menilai secara
objektif apakah tindakan guru masih dalam koridor mendidik atau sudah melampaui
batas.
Pemerintah
juga perlu memperkuat pelatihan profesionalitas dan perlindungan hukum bagi
guru. Guru tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian di tengah perubahan sosial
yang begitu cepat. Mereka membutuhkan dukungan moral dan kebijakan yang
berpihak.
Menjaga
Martabat Guru, Menjaga Masa Depan Bangsa
Guru
adalah cermin peradaban. Ketika guru takut mendidik, ketika guru lebih sibuk
menjaga diri daripada membentuk karakter murid, maka bangsa ini sedang
kehilangan arah.Kita boleh memperjuangkan hak anak, tetapi jangan lupa, guru
juga manusia yang berjuang dengan keterbatasan. Mereka tidak hanya mengajar
huruf dan angka, tetapi juga menanamkan nilai, menuntun akhlak, dan memelihara
harapan.
Sudah
saatnya masyarakat berhenti mudah melapor, dan mulai kembali berdialog. Karena
pendidikan yang sejati tidak bisa tumbuh dari rasa curiga, melainkan dari
kepercayaan dan kebersamaan.
“Guru bukanlah manusia sempurna,
tapi tanpa guru, tak ada manusia yang mengerti arti kesempurnaan.”
Dan selama kita masih menghormati guru, bangsa ini masih punya harapan.