Anak laki-laki
keperempuan-perempuanan, anak perempuan kelaki-lakian. Salah keluarga atau
salah pergaulan? Penyimpangan orientasi dan perilaku seksual anak menjadi hal
yang perlu mendapat perhatian para orangtua di era keemasan dunia alay sekarang
ini.
Perilaku menyimpang seksual menjadi fenomena yang berkembang dalam
masyarakat. Fenomena ini bahkan menjadi menarik dikaji dalam berbagai sudut
pandang dan keilmuan. Eksistensi mereka seolah-olah menginginkan untuk dianggap
ada dan dihargai dalam masyarakat. Pencegahan perilaku penyimpangan seksual
harus diawali dari lingkungan keluarga. “Rumah – Sekolah – Lingkungan – Peer
group – Media – Masyarakat – Negara” merupakan mata rantai yang secara
bersama-sama bertanggung jawab terhadap hadirnya permasalahan penyimpangan
perilaku seksual di masyarakat, khususnya pada anak.
Bagaimana kaitan antara pornografi dengan penyimpangan seksual?
MTP (Masyarakat Tolak Pornografi) memandang penyimpangan seksual dalam
keluarga biasanya disebabkan oleh lingkungan dan pornografi. Ketika perjuangan
UU Pornografi, LBH APIK yang menentang UU Pornografi melakukan kajian untuk
membuktikan bahwa kejahatan seksual bukan karena pengaruh pakaian perempuan.
Namun ternyata, hasil kajiannya justru membuktikan bahwa kejahatan seksual
dipicu oleh pornografi. Pornografi saat ini lebih mudah diakses dan dikonsumsi.
Permisifitas terhadap pornografi berdampak pada tidak sensitifnya masyarakat
terhadap penyimpangan seksual. Dengan demikian pornografi dalam hal ini menjadi
pintu masuk penyimpangan seksual dan kejahatan lainnya. Ibarat membangun istana
pasir, usaha memperkuat keluarga dibombardir oleh gelombang pornografi.
Apa yang harus dilakukan ketika anak-anak diindikasi mengalami penyimpangan orientasi/perilaku seksual?
Ketika penyimpangan gender ditemukan indikasinya sejak usia dini,
orangtua/wali perlu mencari tahu dengan detail faktor yang melatarbelakanginya.
Apakah faktor biologis, kesalahan informasi dan persepsi anak, pergaulan,
ataukah faktor lainnya. Hal ini penting untuk dapat mengetahui jenis terapi apa
yang akurat dan tepat untuk mengobatinya.
Awal penanganan, orangtua/wali perlu melakukan diskusi dengan psikolog
tanpa melibatkan anak. Karena pada diskusi-diskusi awal psikolog akan banyak
menanyakan hal-hal berupa hasil observasi mengenai anak. Setelah data dirasa
cukup, anak bisa dipersiapkan untuk diajak bersama ke psikolog. Pada tahap ini
anak harus paham kenapa dirinya diajak ke psikolog. Sentuhan dan uraian garis
besar kasih sayang keluarga kepadanya menjadi pengantar untuk menjelaskan
mengenai bantuan yang akan diberikan psikolog kepadanya. Kenyamanan anak
menjadi hal yang utama dalam treatment, sehingga perlu disampaikan
juga pada anak bila ia merasa tidak nyaman untuk bertemu dengan psikolog. Ia
memiliki hak untuk meminta re-schedule atau memindahkan lokasi
konseling ke tempat yang membuatnya lebih nyaman.
Jika ditemukan faktor biologis, misalnya karena ada kelainan secara
hormonal, maka bisa ditempuh jalan terapi hormon yang diikuti dengan terapi
perilaku. Jika penyebabnya karena kesalahan informasi atau persepsi dan
pergaulan, maka bisa dilakukan terapi kognitif. Pada kasus-kasus demikian,
nilai-nilai moral sosial dan agama adalah hal yang tidak bisa dilepaskan di
samping tetap diperlukannya penanganan tenaga psikiater, psikolog atau medis
lainnya. Hal yang perlu diketahui bahwa pada penanganan kasus demikian,
psikolog bisa saja memberikan intervensi tidak hanya pada anak yang dimaksud,
namun juga pada anggota keluarga, atau bahkan lingkungan sekolah anak tersebut.
Bentuk intervensi bisa saja berbeda tergantung jenis kasus dan penyebabnya.
Hasil yang dicapai pun bisa jadi berbeda antar kasus. Batas paling rendah
adalah membantu anak untuk ‘mengabaikan’ kecenderungan Lesbian, Gay, Biseksual,
Transgender, yang populer dengan istilah LGBT.
#Day8
#Bunsaylevel11
#Fitrahseksualitas
#kuliahbundasayangII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar